Pengertian
hukum lingkungan menurut UU No 32 tahun 2009
Lingkungan
hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup,termasuk manusia dan perilakunya, yangmempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsunganperikehidupan, dan kesejahteraan manusia sertamakhluk hidup lain
Perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:
·
Melindungi wilayah Negara Kesatuan
RepublikIndonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
·
Menjamin keselamatan, kesehatan dan
kehidupan manusia
·
Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk
hidup dan kelestarian ekosistem
·
Menjaga kelestarian fungsi lingkungan
hidup
·
Mencapai keserasian, keselarasan,
dan keseimbangan lingkungan hidup
·
Menjamin terpenuhinya keadilan generasi
masa kini dan generasi masa depan
·
Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak
atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia
·
Mengendalikan pemanfaatan sumber daya
alam
·
Mewujudkan pembangunan berkelanjutan
·
Mengantisipasi isu lingkungan global
Perlindungan
dan pengelolaan hukum meliputi:
§ Perencanaan
§ Pemanfaatan
§ Pengendalian
§ Pemeliharaan
§ Pengawasan
§ Penegakan
hukum
Pengawasan
dan penegakan hukum
Pengawasan
1. Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan
pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas
ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
2. Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan kewenangannya dalam
melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
3. Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang
merupakan pejabat fungsional
4. Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan
pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap izin
lingkungan.
5. Menteri
dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah jika
Pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.
6. Pejabat
pengawas lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3)
berwenang:
a. melakukan pemantauan
b. meminta keterangan
c. membuat
salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang
diperlukan
d. memasuki
tempat tertentu
e. memotret
f. membuat rekaman audio visual
g. mengambil
sampel
h. memeriksa
peralatan
i. memeriksa
instalasi dan/atau alat transportasi dan/atau
j. menghentikan
pelanggaran tertentu.
7.
Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat
pengawas lingkungan hidup dapat melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik pegawai
negeri sipil
8. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
dilarang menghalangi pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup.
9. Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan pejabat pengawas lingkungan hidup
dan tata cara pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat
(3), Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dalam Peraturan Pemerintah
Penegakan
hukum dibidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga)
kategori yaitu :
v Penegakan
hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata Usaha Negara.
v Penegakan
Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.
v Penegakan
Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana.
Upaya
penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah secara ketata dan konsisten
sesuai dengankewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum, dalam
rangkan menjaga kelestarianfungsi lingkungan hidup. Sehubungan dengan hal ini,
maka penegakan sanksi administrasimerupakan garda terdepan dalan penegakan
hukum lingkungan (primum remedium). Jika sanksi administrasi dinilai tidak
efektif, berulan dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai senjatapamungkas
(ultimum remedium)
Ini berarti bahwa kegiatan penegakan
hukum pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidupbaru dapat dimulai
apabila : Aparat yang berwenang telah menjatuhkan sanksi administrasi dantelah
menindak pelanggar degan menjatuhkan suatu sanksi administrasi tesebut, namun
ternyatatidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi, atau antara
perusahaan yang melakukanpelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi
korban akibat terjadi pelanggaran, sudahdiupayakan penyelesaian sengketa
melalui mekanisme altenatif di luar pengadilan dalam bentukmusyawarah /
perdamaian / negoisasi / mediasi, namun upaya yang dilakukan menemui jalan
buntu,dan atau litigasi melalui pengadilan pedata, namun upaya tersebut juga
tidak efektif, baru dapatdigunakan instrumen penegakan hukum pidana lingkungan
hidup
Kewenangan
pemerintah untuk mengatur merupakan suatu hal yang telah ditetapkan oleh
Undang-Undang. Dari sisi Hukum Administrasi Negara, kewenangan ini di sebut
dengan kewenagan atribusi(Atributive bevoeghdheid), yaitu kewenangan yang
melekat pada badan-badan pemerintah yangdiperoleh dari Udang-Undang. Sehingga
badan-badan pemerintah tersebut dengan demikian memiliikewenangan untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997.Dengan demikian,
badan-badan pemerintah yang berwenang meiliki legitimasi (kewenanganbertindak
dalam pengertian politik) untuk menjalankan kewenangan hukumnya. Karena
masalahlegitimasi adalah persoalan kewenangan yaitu kewenangan menerapkan
sanksi seperti pengawasandan pemberian sanksi yang merupakan suatu tugas
pemerintah seperti yang diamanatkan olehundang-undang. Dalam hal pengawasan
dilakukan oleh suatu lembaga yang dibentuk khusus olehpemerintah.Sanksi
administrasi merupakan kewenangan pemerintah provinsi yang dapat dilimpahkan
kepadaPemerintah Kabupaten / Kota, hal ini dapat tercantum dalam pasal 25
Undang-Undang Nomor 23tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
berbunyi :Gubernur / Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan
pemerintahan terhadappenanggung jawab usaha dan / atau kegiatan untuk mencegah
dan mengakhiri terjadinyapelanggaran, serta menanggulangi akibat yang
ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukantindakan penyelamatan,
penanggulangan, dan / atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawabusaha dan
/atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang.Wewenang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diserahkan kepada Bupati/
Walikotamadya/ kepala Daerah Tingkat II dengan Peraturan Daerah Tingkat I.Pihak
ke-tiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan kepada pejabat
yangberwenang untuk melakukan paksaan pemerintahan, sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat(2).Peksaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) didahulukan dengan suratperintah dari pejabat berwenang.Tindakan
penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihansebagaimana dimaksud pada ayat
(1)dapat diganti dengan pembayaran uang tertentu.Kemampuan daya dukung
lingkungan hidup terdapat beban pencemaran mempunyai keterbatasan.Apabila
kondisi ini dibiarkan akan berdampak terhadap kehidupan manusia. Oleh karena
itupenegakan hukum adminitrasi oleh lembaga pemerintah harus
dilaksanakan.Sanksi-sanksi hukum adminitrasi yang khas Manusia adalah sebagian
dari ekosistem, manusia adalah pengelola pula dari sistem tersebut.Kerusakan
lingkungan adalah pengaruh sampingan dari tindakan manusia untuk mencapai
suatutujuan yang mempunyai konsekuensi terhadap lingkungan. Pencemaran
lingkungan adalah akibatdari ambiguitas tindakan manusia. Kewajiban pengusaha
untuk melakukan pengendalianpencemaran lingkungan hidup adalah salah satu
syarat dalam pemberian izin usaha maka pengusahadapat dimintakan
pertanggungjawaban jika dia lalai dalam menjalankan kewajibannya.Teerdapat
beberapa sanksi khas yang terkadang digunakan pemerintah dalam penegakan
hokumlingkungan, diantaranya Bestuursdwang. Bestuursdwang (paksaan
pemerintahan) diuraikan sebagaitindakan-tindakan yang nyata dari pengusaha guna
mengakhiri suatu keadaan yang dilarang olehsuatu kaidah hukum administrasi atau
(bila masih) melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan olehpara warga karena
bertentangan dengan undang-undang. Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang
menguntungkan (izin pembayaran, subsidi). Penarikan kembali suatu keputusan
yangmenguntungkan tidak selalu perlu didasarkan pada suatu peraturan
perundang-undangan. Hal initidak termasuk apabila keputusan(ketetapan) tersebut
berlaku untuk waktu yang tidak tertentu danmenurut sifanya "dapat
diakhiri" atau diatrik kembali (izin, subsidi berkala)
Ada
Beberapa Faktor Penghambat Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia
1.
Kurangnya Sosialiasi Kepada Masyarakat Terkait Hukum Lingkungan
Jelas,
penegakan hukum lingkungan ini pun jauh lebih rumit dari pada delik lain,
karena seperti telah dikemukakan sebelumnya hukum lingkungan menempati titik
silang berbagai pendapat hukum klasik. Proses penegakan hukum administratif
akan lain dari pada proses penegakan hukum perdata maupuan hukum pidana. Menurut
Hamzah (2005:51) pada umumnya masalah dimulai pada satu titik, yaitu terjadinya
pelanggaran hukum lingkungan. Dari titik perangkat ini dapat dimulai dari orang
pribadi anggota masyarakat, korban penegak hukum yang mengetahui langsung
terjadinya pelanggaran tanpa adanya laporan atau pengaduan. Tujuan tempat
pelapor kepada Bapedal LSM atau organisasi lingkungan hidup jika ingin memilih
jalan perdata terutama tuntutan perbuatan melanggar hukum dapat melakukan
gugatan sendiri kepada hakim perdata atas nama masyarakat (algemen belang,
maatschappelijk belang). Jika mereka kurang mampu memikul biaya perkara,
berdasarkan Pasal 25 Keppres Nomor 55 tahun 1991, dapat meneruskan kepada jaksa
yang akan menggugat perdata atas nama kepentingan umum atau kepentingan
masyarakat. Di kejaksaan terdapat bidang khusus untuk ini, yaitu Jaksa Agung
Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Hamzah, 2005:51).Disamping itu, jika
anggota masyarakat, korban, LSM, organisasi lingkungan hidup, bahkan siapa saja
dapat membuat laporan pidana kepada polisi. Siapa pun juga mengetahui
terjadinya kejahatan wajib melapor kepada penyidik. Dari kepolisian dapat
diminta petunjuk jaksa secara teknis yuridis. Jalur ini jelas hukum pidana.
Akan tetapi, jaksa masih dapat menyelesaikan berdasarkan azas oportunitas, baik
dengan syarat maupun tanpa syarat. Jika semua jalur akan ditempuh berhubung
pelanggaran telah demikian serius dan menyinggung semua dimensi, misalnya
melanggar syarat-syarat suatu izin menimbulkan kerugian finansial kepada orang
atau masyarakat, lagi pula ia seorang residiv bahkan telah menimbulkan korban
luka atau mati, penegak hukum dan yang berkepentingan melakukan tugasnya. Agar
sanksi yang dijatuhkan tidak tumpang tindih misalnya denda (berdasarkan sanksi
administratif dan pidana) maka penegak hukum perlu bermusyawarah sehingga
tindakan yang dilakukan masing-masing terkoordinasi dengan baik.
2.
Kendala Dalam Pembuktian
Kegiatan
pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia tidak hanya memberikan
dampak positif, tetapi juga dampak negatif (misalnya terjadinya pencemaran).
Produsen tidak memasukkan eksternalitas sebagai unsur biaya dalam kegiatannya,
sehingga pihak lain yang dirugikan. Hal ini akan merupakan kendala pada era
tinggal landas, karena kondisi ini berkaitan dengan perlindungan terhadap hak
untuk menikmati lingkungan yang baik dan sehat. Masalah pencemaran ini jika
tidak ditanggulangi akan mengancam kelestarian fungsi lingkungan hidup. Di
sepanjang Kali Surabaya terdapat sekitar 70 industri yang punya andil membuang
limbah ke badan sungai tersebut. Permasalahan ini menjadi semakin mendapat
perhatian dengan dibangunnya instalasi Pengelolaan Air Minum (PAM) di wilayah
Karang Pilang yang merupakan proyek peningkatan kapasitas pengelolaan air minum
untuk mencukupi kebutuhan air minum di Surabaya atas bantuan Bank Dunia. Pada
tahun1988, dua diantara 70 perusahan/industri yang diduga memberikan kontribusi
pencemaran terhadap Kali Surabaya diajukan ke pengadilan. Kedua perusahaan ini
adalah PT Sidomakmur yang memproduksi Tahu dan PT Sidomulyo sebagai perusahaan
peternakan babi. Limbah dari kedua perusahaan ini dialirkan ke kali Surabaya,
dan diperkirakan telah menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan hidup.
Untuk dapat membuktikan bahwa suatu perbuatan telah menimbulkan pencemaran
perlu penyidikan, penyidikan ini dilakukan oleh aparat POLRI. Untuk itu di
samping diperlukan kemampuan dan keuletan setiap petugas, juga diperlukan suatu
model yang dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu perbuatan telah
memenuhi unsur pasal (Pasal 22 UU No. 4 Tahun 1982), seperti halnya dengan
kasus Kali Surabaya. Polisi (penyidik) dalam penyidikan berkesimpulan bahwa
telah terjadi pencemaran karena kesengajaan, sehingga perkara ini diajukan ke Pengadilan
Negeri Sidoardjo, tetapi hakim memutuskan bahwa tidak terjadi pencemaran.
Sedangkan pada tingkat Mahkamah Agung menilai bahwa Hakim Pengadilan Negeri
Sidoardjo salah menerapkan hukum, selanjutnya MA memutuskan bahwa perbuatan
tersebut terbukti secara sah dan menyakinkan mencemari lingkungan hidup karena
kelalaian. Perbedaan ini menunjukkan bahwa permasalahan lingkungan hidup
merupakan permasalahan kompleks, rumit dalam segi pembuktian dan penerapan
pasal, serta subyektifitas pengambil keputusan cukup tinggi, sehingga perlu
suatu media untuk menyederhanakan, memudahkan dan meminimisasi unsur
subyektifitas.
3.
Infrastruktur Penegakan Hukum
Kesulitan
utama yang kerap dinyatakan oleh pemerintah atau aparat penegak hukum dalam
mengatasi pembakaran hutan adalah minimnya aparat pemantau, atau minimnya alat
bukti. Dalam hal tertangkap tangan maka yang dijerat adalah para operator yang
notabene adalah pekerja harian. Perusahaan selalu dapat lepas dari jeratan
hukum. Kompleksitas masalah pembakaran hutan bukan tanpa jalan keluar. Negara
harusnya memiliki power untuk mencabut izin operasi atau konsesi atas
perusahaan yang di kawasannya terdapat titik api. Hanya ada dua kemungkinan
jika terjadi kebakaran di dalam satu konsesi kehutnan atau perkebunan, yaitu
mereka sengaja membakar atau mereka tidak serius menjaga kawsannya agar bebas
dari kebakaran. Jika ada kekuasaan pemerintah seperti itu, maka dapat
dipastikan angka pembakaran hutan akan turus secara drastis. Untuk itu
diperlukan suatu aturan hukum berupa Peraturan Pemerintah atau Perpu, karena
aturan hukum yang ada saat ini belumlah memadai.
4.
Budaya Hukum yang Masih Buruk
Pada
beberapa kasus, kejahatan lingkungan terjadi karena masih kentalnya budaya
korupsi, kolusi dan nepotisme antara perusahaan-perusahaan, pemerintah maupun
DPR. Lobi-lobi illegal masih sering terjadi. Misalnya proyek pengadaan barang
dan jasa di Lingkungan Bandan Lingkungan Hidup (BLH) Sidoarjo tahun anggaran
2008 lalu terdakwa bersekongkol dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Hasan Basri
(Didakwa dengan kasus yang sama) memperkaya diri sendiri sehingga merugikan
keuangan negara sebesar Rp 193 juta lebih. Kasus lainnya adalah dugaan korupsi
penanaman pohon senilai Rp473,9 juta yang menggunakan dana APBD 2006, ke
Pengadilan Negeri (PN) Depok. Kasus tersebut melibatkan Asep Suganda, yang saat
ini menjabat sebagai Kabid Tata Bangunan, Dinas Tata Kota dan Bangunan
(Distakotbang). Dikatakannya, tersangka Asep diduga menyelewengkan dana untuk
penanaman 5.000 batang pohon di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung senilai
Rp223,9 juta, serta Rp250 juta untuk penanaman 1.250 pohon di Taman Hutan
Rakyat (Tahura). Memang bukanlah pekerjaan yang mudah untuk memberantas praktek
KKN yang kerapkali terjadi, namun bukanlah tidak mungkin.
cewenya suipp ^^ bagi kontaknya
BalasHapus